Budaya Kirab Kebo Bule

Akhir Pekan ini bakalan libur panjang nih. Libur dari tanggal 20 agustus 2020 untuk memperingati tahun baru Hijriyah. Biasanya, berbagai daerah mengadakan festival atau kirab budaya yang cukup meriah dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriyah. Salah satu acara tahun baru hijriyah cukup terkenal terdapat di Kota Solo. Mereka merayakannya dengan menggelar acara budaya kirab kebo bule, hmm cukup unik ya haha.

Para abdi dan sentono dalem Keraton Kasunanan Surakarta menggelar tradisi Kirab Kebo Bule keturunan Kyai Slamet sebagai cucuk lampah memimpin barisan terdepan kirab pusaka mengelilingi kota.

Mereka menyiapkan segala keperluan kirab, termasuk Ubo Rampe. Mulai dari umbi-umbian, kopi, buah-buahan, air kembang, dan tidak lupa membakar kemenyan sebagai pelengkap sesajen. Pakaian yang Abdi dalem keraton pakai adalah busana adat Jawa berwarna hitam. Selain itu, mereka tidak mengenakan alas kaki untuk melakoni kirab tersebut.

Acara Yang Selalu Meriah

Bagi warga Solo, Budaya Kirab Kebo Bule selalu memiliki makna tersendiri dan selalu meriah tiap tahunnya. Ritual tersebut merupakan simbol budaya yang menandakan bahwa kita sudah memasuki bulan Suro atau satu Muharram. Ternyata bukan hanya warga Kota Solo saja yang datang, namun banyak juga pengunjung dari luar Kota Solo yang datang hanya untuk sekadar menonton atau ngalap berkah dari prosesi ritual Kirab Kebo Bule. Sebagian orang juga percaya bahwa dengan mengikuti kirab, mereka bisa membawa berkah dan keselamatan hidup. Aamiin.

Kerbau Keramat Pembawa Berkah

Hewan Kerbau merupakan bagian penting dalam tata cara adat masyarakat tradisional Jawa. Selain itu, kerbau juga sangat berkaitan erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa seperti sebagai alat transportasi maupun membajak sawah. Bukan hanya itu, kerbau juga memiliki makna simbolis dari beberapa leluhur keluarga keraton. Totalnya, keraton Surakarta saat ini memliki 17 ekor kebo bule. Akan tetapi, tidak semua kerbau dapat mengikuti kirab.

Agenda pertama dari acara ini adalah memanjatkan doa oleh para abdi dalem dengan lokasi depan Kore Kemandungan Keraton Kasunanan Surakarta. Para pawang mengiringi kerbau-kerbau dengan mengenakan pakaian putih, celana hitam, ikat kepala, samir, summing, danĀ  gajah ngoling berupa rangkaian bunga melati yang terpasang diatas telinga.

Pada halaman keraton, kerbau-kerbau tersebut memakan sesaji hingga meminum kopi yang telah tersedia. Usai memakan sesaji, rombongan kebo bule sebagai cucuk lampah atau pembuka kirab itu kemudian pergi.

Konon katanya, ritual baru akan mulai ketika si Kebo Bule mau berjalan keluar kandang dengan sendirinya. Jadi, Apabila sang kerbau belum mau keluar kandang, maka prosesi ritual belum dapat dimulai. Tak ada satupun abdi maupun sentono dalem Keraton Surakarta yang berani memaksa kerbau untuk jalan.

Setelah para kerbau itu pergi, tanpa ada komando warga langsung merangsak maju untuk memperebutkan sisa sesaji kerbau keturunan Kyai Slamet. Warga meyakini bahwa dengan memakan sesaji kebo bule bisa mendaptkah tuah atau berkah.

Adapun untuk rute kirab pusaka itu mulai dari Keraton Kasunanan Surakarta menyusuri jalan-jalan utama kota Solo. Pelaksanaan kirab Malam Satu Sura berdasar dari penghitungan kalender Sinuhun Sultan Agung yang merupakan gabungan kalender Hijriyah dan Saka.

Setiap tahunnya, baik Keraton Surakarta maupun Keraton Yogyakarta selalu merayakan tradisi malam 1 Suro sebagai penerus Kesultanan Mataram. Ritual malam satu suro sendiri sejatinya merupakan wujud rekfleksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya dengan serta harapan akan berkah dari Sang Pencipta.

Sumber : PesonaIndonesia.com